Kali ini kita memasuki desa Parigi, sebuah desa antara desa Habirau Tengah dan Banua Anyar terletak di sepanjang sungai Bahan (sungai Negara). Desa yang dipimpin oleh pembekal Abdur Rahman Sidiq, S Ag ini termasuk kawasan yang padat. Sebagaimana pemukiman di wilayah Negara, desa Parigi juga mempunyai tata ruang yang kurang baik. Rumah rumah berhimpitan bahkan menghadapnya saja ada yang ke utara, timur atau barat. Sebagian berada dipinggir jalan dan sebagian masuk gang gang ke dalam yang dihubungkan dengan titian titian.
Tingkat pendidikan masih cukup rendah, menurut wakil ketua DPRD Hulu Sungai Selatan yang juga pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Parigi, H Bahran, S, PdI di desa Parigi hanya mempunyai lulusan sarjana sebanyak empat orang, itu sudah termasuk pembekal (kepala desa) dan istrinya. Sekolah yang ada di desa ini hanya ada satu Sekolah Dasar dan satu Sekolah Menengah Pertama dengan catatan SMP yang ada baru berdiri dua tahun.
Untuk kegiatan keagamaan desa Parigi termasuk yang luar biasa ada pengajian rutin di Majlis Taklim H Andi, disamping pengajian pengajian kecil lainnya. Mereka biasanya membawakan syiir syiir maulidul habsi atau manakib (sejarah) para alim ulama.
Mata pencarian masyarakat mayoritas petani atau nelayan tradisional. Dua tahun terakhir ini menjadi bagian terberat bagi masyarakat Parigi karena perubahan musim yang mengakibatkan air pasang tinggi dan tidak pernah surut, sehingga para petani lebih tepatnya peladan tidak bias pehuma (bertani). Mencari ikan menjadi andalan, itupun sudah mulai dirasakan sulit karena biasanya mereka mengharap ikan yang banyak ketika perubahan musim dari penghujan ke kemarau dimana air mulai surut, dan itu tidak terjadi dua tahun terakhir ini.
Sebagian lagi ada yang berwirausaha dibidang peemasan, maksudnya mengolah emas sesuai pesanan konsumen. Dibidang ini juga mulai lesu karena pluktuatifnya harga emas yang mengakibatkan pedangang tidak berani gambling.
Kesulitan di masalah ekonomi ini mengakibatkan sebagian dari masyarakat Parigi mencoba mencari rejeki ke kota lain, biasanya ke Palangka Raya atau kota kota di Kalimantan Tengah lainnya. Mereka yang keluar ini biasanya berbekal kemampuan di bidang keemasan.
Ada yang unik di desa ini, disaat usaha kayu yang dulu menjadi primadona dan sekarang sudah mati, tapi masih ada yang tetap bertahan dan eksis. Usaha moulding milik pembekal Parigi yang mengkhususkan membuat hulu parang (gagang pisau).
Banyak cara dan kreatifitas untuk meng ‘akal’i agar usaha ini tetap eksis, terutama untuk pemenuhan bahan baku yang sudah langka. Sang pemilik lebih memilih bahan bahan daur ulang, dan ketika bahan daur ulang juga sulit didapat lagi, sekarang diganti dengan kayu galam yang memang banyak tumbuh di daerah rawan. Tidak harus yang besar karena yang diperlukan memang cukup yang berdiameter kecil.
Dengan tiga mesin rakitan dikerjakan oleh empat karyawan. Satu orang karyawan dalam satu hari rata rata bias membuat 200 hulu yang pangjangnya perhulu kurang lebih 25 cm. Besar kecilnya beragam tergantung kebutuhan, ada yang untuk parit, ada yang untuk parang, ada yang untuk pisau bahkan sekarang ada pesanan untuk panci betangkai.
Hasilnya sudah ada yang dikirim ke Banjarmasin, walaupun mayoritas masih untuk kebutuhan local.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar