Dalam setahun ini paling tidak sudah ada tiga kebijakan pemerintah tentang pendidikan yang menghebohkan. Masalah standar kelulusan merupakan kebijakan yang ramai dibincangkan, hal ini menyangkut waktu kebijakan, isi kebijakan atau tujuan dan kepentingan kebijakan. Lalu bagaimana kenyataan di lapangannya ?
Sudah dapat ditebak apapun alasannya Ujian Nasional akan tetap dipertahankan, walaupun banyak yang menentang dan bahkan secara hukum telah diputuskan MA. Apalagi kalau bukan karena ini adalah sebuah proyek besar, walaupun di lapangan banyak ditemukan kenyataan yang mewarnai dunia pendidikan kita menjadi abu abu. Dari pelaksanaannya saja sudah menyedihkan, ketika ujian harus melibatkan aparat kepolisian, artinya sudah tidak ada kepercayaan lagi pemerintah pada anak anak bangsa, juga pada guru guru atau panitianya. Sebuah langkah yang didasari dengan ketidak percayaan tentu ditengah jalan akan selalu ada kecurigaan bahkan menjadi stimuli kecurangan. Belum lagi nantinya pemerintah daerah menginstruksikan baik itu Cuma secara lisan yang secara hirarki akan sampai ke bawah tuntutan agar daerahnya tidak “jeblok” dalam ujian nasional. Wal hasil murid dan guru saling kongkalikong agar bagaimana sekolahnya biar lulus seratus persen, tak peduli apa jalannya. Konfigurasi ini bahkan tidak “local”an saja tapi juga regional atau bahkan menasional. Jangan salahkan mereka, toh standar yang diterapkan menyama ratakan sekolah tak peduli lokasi geografis, kondisi daerah, budaya atau tingkat kecenderungan pendidikan masing masing daerah.
Dengan alasan menyerap aspirasi arus bawah lalu diatur komposisi 40-60, apa yang terjadi ? Di negeri ini lahir tukang sulap-tukang sulap baru. Mulai dari raport baru sampai raport yang cuma selembar foto kopian.
Guru sebagai ujung tombak menjadi perahan yang harus berjalan dengan menitipkan hati nuraninya. Ya nasib secara ekonomi sudah jauh terperhatikan, tapi hakekat keguruannya yang terkebiri dengan kebijakan kebijakan yang memojokkan. Belum lagi untuk menunjukkankan profesionalisnya dituntut dengan perangkat perangkat yang setumpuk.
Kalau disetiap Standar Kompetensi Kelulusan taqwa dan budi pekerti selalu di tempatkan sebagai nomor satu di setiap mata pelajaran, apakah bisa tercapai ? Taqwa dan budi pekerti tidak bisa ditransferkan hanya dengan pembelajaran saja tapi pendidikan perlu contoh yang ditiru perlu figure idola dan praktek dalam kenyataan bukan tulisan.
Sering kali kita gengsi menerima kenyataan, kenyataan standar pendidikan kita, kenyataan anak anak bangsa, sehingga tanpa kita sadari kita paksakan dengan teori teori yang terlihat ideal. Ironisnya nilai nilai luhurnya menjadi taruhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar